Kisah Seorang Mentri Tapi Pendengki

Inilah Kisah Seorang Mentri Tapi Pendengki. Kisahnya sangat mendebarkan hati. Selamat membaca. 


Assalamu 'alaikum war wab.

Saudara-saudaraku yang baik hati, inilah kisah tentang Seorang Mentri Tapi Pendengki. Kisah ini diambil dari kitab Hilyat al-Auliya wa at-Thabaqat al Ashfiya juz 2 hal 228-229, disusun oleh ulama terkenal abad ketiga hijriyah, yaitu Abu Nu`aim al-Ashfahani.

Diceritakan bahwa suatu ketika ada seorang raja yang memerintah sebuah negeri kedatangan seorang alim yang tulus hati ke istananya. Ia merupakan penasehat raja di kala itu. Ia pun dipersilahkan duduk selayaknya ponggawa kerajaan lainnya. Kemudian atas pinta sang raja, si alim pun menasihatinya.

“Balaslah orang berbuat baik dengan yang lebih baik lagi. Dan jangan hiraukan orang yang mendengki. Abaikanlah saja! Sebab kedengkian itu sudah cukup untuk mencelakakan dirinya sendiri”. Demikian sang alim menasihati raja.

Raja itu menerima nasehat si alim dengan penuh perhatian. Raja pun tak menyadari bahwa di istananya ada seorang menteri yang memang seorang pendengki. Padahal, dia selalu iri melihat setiap tamu yang diperlakukan istimewa oleh sang raja, tak terkecuali pada si alim yang bijaksana ini. Melihat senyum tulus di wajah si alim, hatinya tak terbendung untuk merencanakan sesuatu.

Begitu si alim pergi dari hadapan raja, si menteri pun mengantarkannya ke luar istana. Sekembalinya mengantarkan, dia kembali pada raja dan berkata, “Wahai raja, orang alim tadi mengatakan padaku bahwa mulut baginda sungguh bau. Saranku, cobalah besok baginda panggil ia kembali. Jika di dekat baginda ia menutup hidung, maka benar bahwa ia telah mengannggap mulut baginda memang bau.”

Sang raja terkaget mendengarnya. Baru kali ini ia merasa terhina oleh seseorang yang bukan siapa-siapa. Keesokan harinya, si menteri mengundang si alim yang tulus itu untuk makan di rumahnya. Dihidangkannya bawang-bawangan dan masakan berbau tajam. Hal ini agar mulut si alim menjadi bau dan beraroma tak sedap.

Tak lama kemudian, sebagaimana yang telah direncanakan si menteri, datanglah panggilan pada si alim untuk menghadap raja lagi di istananya.

Setelah memberikan nasehat seperti yang biasanya, raja meminta si alim untuk mendekat. “Kemarilah wahai penasehat, mendekatlah kepadaku!”

Sang alim ragu untuk mendekat, ia ingat bahwa di rumah menteri, ia telah menghabiskan beberapa bawang-bawaangan. Namun tak ada pilihan lain, akhirnya ia mendekat sambil menutup mulutnya karena khawatir sang raja mencium bau tak sedap dari mulutnya.

Melihat sikap si alim menutupi mulutnya, maka Sang raja murka. “Ternyata benar. Dia melecehkanku dan menganggap mulutku bau. Dia sungguh telah menghinaku!” ucapnya dalam hati.

Maka, sang raja pun menulis sebuah surat untuk diberikan kepada si alim yang yang sebenarnya masih tak mengerti untuk apa ia diminta mendekat. “Bawalah surat ini pada salah seorang penggawaku ini, dia akan memberikan hadiah yang sangat berharga untukmu.” Titah Sang Raja.

Padahal sebenarnya, surat yang ditulis raja itu bukanlah perintah untuk pemberian hadiah, melainkan perintah eksekusi karena tersinggung dengan sikap si alim. Raja memberi perintah pada ponggawanya: "Jika pembawa surat ini datang padamu, maka sembelihlah ia. Kuliti tubuhnya dan bakarlah badannya. Sementara kepalanya, bawalah langsung ke hadapanku!”

Begitu keluar dari istana, sang penasehat disambut oleh menteri pendengki yang menjebaknya. Lalu bertanya: “Apa yang dilakukan baginda kepadamu, saudaraku?” tanyanya.

“Alhamdulillah,” ujar sang penasehat berseri, “Beliau menyuruhku membawa surat ini kepada seorang ponggawa istana yang akan memberikanku hadiah dari sang raja.” Demikian jawab si alim dengan polos.

“Wah,” ujar si mentri pendengki takjub, “Bagaimana jika engkau beristirahat saja di rumahku dan biarkan aku yang akan mengurus semuanya”.

“Waduh, saya sungguh merepotkan anda,” kata si alim tak enak hati.

“Tentu saja tidak,” ujar si menteri dengan senyum liciknya, “Ini merupakan tanggung jawab saya sebagai tuan rumah. Lagi pula tuan alim belum mengenal betul seluk beluk istana ini.” Tanpa pikir panjang, si alim mengiyakan permintaan si mentri.

Lalu, si mentri segera menghadap ponggawa yang ditunjuk Sang Raja untuk menyampaikan surat yang sebenarnya dibuat untuk si alim. Dalam pikirannya, ia akan mendapatkan hadiah besar dari ponggawanya sebagaimana 'perintah' Sang Raja. Ia juga lupa bahwa hadiah besar yang dimaksud adalah hadiah kekecewaan Sang Raja akibat tersinggung dengan sikap si alim yang direncanakan oleh si mentri itu sendiri.

Sesampainya di hadapan pongawa yang dituju, si mentri menyodorkan surat Sang Raja. Dengan lantang si ponggawa membacakan isi surat yang dibawa mentri:

"Jika pembawa surat ini datang padamu, maka sembelihlah ia. Kuliti tubuhnya dan bakarlah badannya. Sementara kepalanya, bawalah langsung ke hadapanku!”

Mendengar isi surat itu, si mentri menjadi pucat. Namun tidak ada pilihan lain kecuali menerima semua resiko di depan matanya. Begitu pula si ponggawa, tidak mungkin mengabaikan perintah raja. Ia harus menjalankan eksekusi sesuai tugasnya.

Dan setelah eksekusi selesai, si ponggawa menghadap raja lalu menyodorkan kepala mentri di hadapan raja.

Melihat kepala yang disodorkan di hadapa raja bukanlah kepala si alim, maka raja berpikir bahwa si alim bukanlah orang yang salah. Si alim itu benar, dan nasehatnya juga benar. Bahwa orang dengki itu akan celaka dengan dengan kedengkiannya sendiri. Dan rencana yang jahat tidak akan menimpa selain pada orang yang merencanakannya sendiri.

Demikianlah kisah sosok Seorang mentri tapi Pendengki ini dinukil dari kitab Hilyat al-Auliya wa at-Thabaqat al Ashfiya juz 2 hal 228-229, disusun oleh ulama terkenal abad ketiga hijriyah, yaitu Abu Nu`aim al-Ashfahani. Semoga kisah ini dijadikan i'tibar bagi generasi penerus, khususnya umat Islam yang selalu berusaha menjaga iman dan islamnya hingga ajal tiba.

Assalamu 'alaikum war wab.
Bagikan:

0 komentar:

ARSIP BULANAN

PEMBACA TBv

PEMBACA ONLINE